IATA Ramalan Produksi Bioavtur Global Melompat Dua Kali Lipat Tahun 2025
Asosiasi Perhubungan Udara Internasional (
IATA
) menaksir hasil produksi bahan bakar terbang ramah lingkungan (SAF) atau
bioavtur
Akan berkali-kali lipet mencapai 2 juta ton di tahun 2025. Persentase tersebut menggambarkan sekitar 0,7% dari total pemakaian bahan bakar seluruh industri penerbangan dunia.
Organisasi industri penting IATA menginformasikan bahwa perusahaan penerbangan di seluruh dunia mungkin akan semakin merasa sulit dalam mencapai target keberlanjutan mereka. Menurut laporan IATA, pembuatan SAF, yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar jet biasa, sedang berlangsung dengan laju yang cukup lambat.
Direktur Jenderal IATA Willie Walsh menyebutkan bahwa walaupun ada kenaikan produksi yang membangkitkan harapan, angka tersebut masih cukup rendah dan akan meningkatkan biaya bahan bakar penerbangan di seluruh dunia hingga US$ 4,4 miliar (setara dengan Rp 71,7 triliun menggunakan nilai tukar Rp 16.290 per US$).
“Kemajuan dalam peningkatan produksi SAF serta mencapai efisiensi guna mengurangi biaya perlu dipacu lebih cepat,” ujar Walsh dalam suatu pernyataan, sebagaimana dilansir
Reuters
, Minggu (1/6).
Bidang penerbangan secara keseluruhan di tahun 2021 sepakat menetapkan tujuan mencapai emisi netral pada tahun 2050 dengan mengandalkan transisi bertahap menuju penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang dibuat dari minyak sisa dan bahan organik tumbuhan.
Perusahaan penerbangan bertengkar dengan firma energi terkait kelangkaan suplai SAF. Selain itu, mereka juga menyalahkan pembuat pesawat, misalnya Airbus dan Boeing, karena memperlambat penyerahan jenis jet yang lebih irit bahanbakar.
Mayoritas Tim SAT Diutamakan untuk Eropa
Mayoritas SAF atau bioavtur saat ini dikembangkan di Eropa, tempat peraturan UE serta Britania Raya akan efektif pada 1 Januari 2025. Untuk maskapai penerbangan, biaya SAF sekarang naik dua kali lebih tinggi di wilayah tersebut akibat beban kompliance dari pembuat atau penyedia SAF.
Untuk satu juta ton Solar Aircraft Fuel (SAF) yang diproyeksikan akan dibeli untuk memenuhi target Uni Eropa tahun 2025, estimasi biayanya dengan harga pasaran saat ini mendekati US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 19,55 triliun). Dengan demikian, perkiraan tambahan cost kepatuhan tersebut bisa meningkatkan total pengeluaran perusahaan penerbangan menjadi sekitar US$ 1,7 miliar (atau setara dengan Rp 27,69 triliun) lebih tinggi dari nilai normalnya.
Jumlah tersebut sebaiknya dapat menurunkan emisi karbon hingga 3,5 juta ton tambahan. Sebalinya, ketentuan tentang SAF di Uni Eropa malah menyebabkan harga SAF menjadi lima kali lebih tinggi daripada bensin pesawat biasa.
Walsh menyebutkan bahwa IATA mencatat adanya beberapa kendala pada implementasi kebijakan penugasan penggunaan SAF untuk perusahaan penerbangan di Eropa. Hal ini terjadi sebelum situasi pasarnya cukup matang serta belum ada perlindungan dari praktek-praktik persaingaan tidak sehat yang dapat meningkatkan biaya dekarbonisasi.
“Ini menaikkan biaya beralih ke energi terbarukan yang diproyeksikan hingga US$ 4,7 triliun, hal tersebut seharusnya bukan sasaran ataupun akibat dari kebijakan dekarbonisasi. Eropa harus mengenali bahwa strateginya tak efektif dan mesti mencari solusi alternatif,” ungkap Walsh.
Post Comment