×

5 Investasi Berisiko Tinggi Saat Konflik Negara Meletus

5 Investasi Berisiko Tinggi Saat Konflik Negara Meletus

5 Investasi Berisiko Tinggi Saat Konflik Negara Meletus

Saat konflik internasional meletus, stabilitas ekonomi dan bidang investasi biasanya menghadapi goncangan signifikan. Kekacauan politik global, penghambatan dalam rantai pasokan universal, serta volatilitas valuta asing dapat merombak kinerja pasar dengan cepat. Di tengah situasi serupa itu, ada berbagai macam instrumen investasi yang lebih baik untuk dijauhi supaya portfolio tetap aman dari penurunan nilai dan risiko kerugian besar.

Mengenali bahaya selama periode konflik skala dunia amat krusial, lebih-lebih untuk para pemodal perseorangan yang tak mempunyai fleksibilitas seperti institusi finansial raksasa. Di bawah ini ada lima tipe investasi yang harus dijauhi saat pecah peperangan antar negeri besar dan dikutip dari
investopedia.com.

1. Saham

Perusahaan global yang aktif dalam sektor teknologi konsumer, layanan, atau industri bukan militer memiliki kepekaan tinggi terhadap efek perang. Apabila suplai rantai menjadi tidak stabil dan transaksi antar negara dipengaruhi oleh pembatasan sanksi ataupun kendala transportasi, aktivitas bisnisnya dapat terhenti. Misalnya saja suatu firma teknologi dari AS yang memproduksinya melalui pabrik-pabrik di Asia mungkin akan merasakan imbas secara langsung apabila ada pertempuran bersenjata di daerah setempat.

Di luar masalah operasional, persepsi pasaran mengenai saham korporasi berskala internasional turut merosot pesat saat adanya tensi geopolitikal. Para investor di kancah dunia umumnya memilih untuk mencabut investasi mereka dari instrumen dengan risiko tinggi tersebut, sehingga saham entitas multi-nasional jadi beberapa yang paling awal menerima dampak negatifnya. Pengurangan nilai saham tak semata-mata disebabkan oleh pelanggaran pada kinerja usaha, melainkan juga dikarenakan panik bursa serta alih-alihan modal menuju surga likuiditas yang lebih stabil.

2. Obligasinya negara yang sedang berperang

Obligasi pemerintah umumnya dikenal sebagai alat investasi dengan tingkat keamanan yang cukup baik. Akan tetapi, apabila negeri pembuat obligasi itu sedang berperang, resiko akan naik secara signifikan. Perang dapat membebani anggaran suatu negara, mendorong belanja militer menjadi lebih besar, serta kerapkali menciptakan defisit ekonomi yang semakin lebar. Jika hal-hal demikian terjadi, keyakinan para pemodal pada kapabilitas negeri untuk melunasi hutangnya cenderung merosot.

Di samping itu, negera-negara yang tengah terlibat dalam konflik seringkali menghadapi masalah pelemahan nilai tukar mata uang, inflasi yang melambung, serta ancaman downgrade rating kredibilitas dari badan-badan pemberi ranking keuangan. Kondisi-kondisi semacam ini dapat menyebabkan harga surat utang pemerintah merosot drastis di pasaran kedua. Pada situasi yang sangat parah, sebuah negara mungkin tidak akan sanggup membayar hutangnya atau tertunda untuk melakukan pembayaran bunga maupun pokok pinjaman.

3. Properti aset dalam area konflik terjadi

Investasi pada sektor properti tentu dapat menghasilkan laba yang konsisten selama periode waktu yang lama. Akan tetapi, saat ada peperangan, terlebih lagi jika lokasinya berdekatan dengan area pertempuran, harga aset properti mungkin akan anjlok secara signifikan. Ancaman kerusakan struktural pada gedung-gedung, aliran pengungsi skala besar, serta ketidaktentuan aturan tentang kepemilikan tanah menjadikan penanaman modal di daerah seperti itu memiliki tingkat risiko cukup tinggi.

Selain itu, industri real estat sangat tergantung pada kondisi politik dan sosial yang stabil. Saat publik merasa tidak aman, minat untuk pembelian properti berkurang, dan sektor konstruksi pun dapat lumpuh. Meski suatu daerah tak secara langsung mengalami efek fisik dari peperangan, rasa cemas tentang ketidakteraturan bisa memberi pengaruh besar terhadap harga properti serta hasil sewanya.

4. Kurs mata uang di negara-negara sedang berkembang

Pada masa konflik skala besar, para investor internasional biasanya memindahkan modal mereka ke jenis mata uang yang dipandang sebagai tempat perlindungan seperti dolar Amerika Serikat, franc Switzerland, atau yen Jepang. Di sisi lain, mata uang dari negeri-negera sedang berkembangan kerap kali terdepresiasi secara signifikan karena dinilai lebih beresiko dan kurang mudah dialirkan. Penurunan nilai tukar ini bisa memberikan dampak merugikan bagi pemegang aset dalam bentuk mata uang-mata uang itu.

Di luar penurunan nilai tukar, negara sedang berkembangan dapat pula menemui tantangan semacam perpindahan modal asing, kenaikan harga barang secara signifikan, serta campur tangan dalam urusan keuangan yang kurang berhasil. Kondisi tersebut semua bakal menciptakan situasi di pasar lokal menjadi lebih buruk dan meningkatkan potensi kerugian untuk para pemodal. Sehubungan dengan hal itu, pada masa perselisihan skala besar antara kuatnya negeri saingan, alangkah baiknya jika kita menjauhi paparan berlebih terhadap mata uang dari negara-negara sedang berkembang.

5. Barang-barang seperti tembaga dan aluminium

Barang-barang seperti tembaga, nikel, dan aluminium sangat tergantung pada kelancaran jaringan suplai dunia. Saat peperangan meletus, pendistribusion dan produksi zat-zat tersebut dapat terhambat, khususnya apabila produsen utamanya berada di tengah-tengah pertempuran. Hal itu menyebabkan variasi harga menjadi amat naik turun serta tak mudah ditebak. Bagi para pembeli yang belum familiar dengan lonjakan drastis semacam itu, hal ini mungkin mengakibatkan kerugian signifikan.

Meski beberapa barang seperti emas biasanya meningkat di tengah krisis, komoditas industri non-energi kurang umumnya berperilaku sebagai tempat perlindungan keamanan. Nilai mereka dapat merosot akibat penurunan permintaan dunia atau hambatan dalam eksportasi dari suatu negeri. Di periode ketika situasi geopolitikal tak pasti, akan bijaksana untuk memilih jenis-jenis komoditas yang pergerakannya relatif tenang serta tidak sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik dan militer internasional.

Kala bumi menghadap masalah global raya, strategi konservatif lewat pemilahan alat finansial yang sebelumnya tampil kokoh saat musibah layaknya perhiasan emas, obligasi negeri yang kukuh, ataupun tabungan dana pasar uang menjadi opsi yang lebih bertabiat risikolite. Kepentingannya sewaktu itu tak lagi mengejar hasil untung melimpah, namun menjaga keselamatan serta kelangsungan investasi untuk periode waktu lama.

Post Comment

You May Have Missed