– Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan bahwa penyitaan harta benda dapat dijalankan pada kasus-kasus tindakan pidana.
pencucian uang
(TPPU).
Itu diutarakan oleh Boyamin usai Kejaksaan Agung (Kejagung) mengeluarkan penetapan terhadap mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan serta Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA).
Zarof Ricar
sebagai tersangka kasus TPPU.
Pengidentifikasian Zarof Ricar sebagai pelaku pencucian uang berkaitan dengan temuan dana sebesar Rp 951 miliar serta 51 kilogram emas selama penggeledahan di kediamannya, terkait kasus suap untuk Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menghukum terdakwa pembunuhan atas nama Dini Sera Afrianti oleh Ronald Tannur.
“Terkait dengan penyerobotan harta, tentu saja demikikan secara otomatis. Karena salah satu bagian dari pencucian uang ialah penyitaan hartanya. Tentunya hal tersebut harus ditelusuri,” jelas Boyamin pada hari Selasa (29/4/2025).
Namun, Boyamin menganggap ada hal yang lebih penting daripada kasus itu sendiri, yaitu penerapan undang-undang terkait.
TPPU
Untuk menangkap pemberi serta penerima suap dalam kasus ini. Karena, Zarof Ricar berperan sebagai makelar.
“Saya mencurigai bahwa satu triliun tersebut berarti bagi pihak lain, mungkin seorang hakim dengan kasusnya yang dipersoalkan. Maka, bisa jadi ada bagian yang belum diserahkan atau ia menyembunyikannya dan nantinya akan diberikan setelah masa kerjanya berakhir. Sebab jika ini miliknya sendiri, menurut perkiraanku, uang tersebut telah dihabiskan atau dialirkan ke tempat lain,” ungkapnya.
Boyamin mencurigai adanya daftar individu yang telah menerima uang serta para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut untuk mengidentifikasi siapa saja yang memberikan dan menerima uang haram ini.
Menurutnya, jika memperkarakan Zarof Ricar atas tuduhan TPPU, Kejaksaan Agung dapat menyelidiki pihak-pihak tambahan yang terkait dalam kasus tersebut. Ini akan menjadi suatu hal yang berbeda apabila Zarof hanya dihadapkan pada dakwaan gratifikasi tanpa harus mencari tahu siapa orang yang memberikannya.
“Sekarang, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pelaku yang memberikan dan menerima [dari transaksi tersebut]. Nantinya, jika kedua belah pihak bertemu, mereka secara otomatis akan menjadi tersangka,” ungkap Boyamin.
Dia menyadari bahwa Kejaksaan Agung mungkin marah atas kebisuan Zarof Ricar yang enggan menginformasikan asal-usul dan penerima uang itu, hal ini bisa berakibat pada tuduhan pencucian uang dengan hukumannya selama-lamanya.
“Diharapkannya bahwa ia dapat menjadi mitra kerja keadilan dengan mengungkapkan segala sesuatu. Dengan begitu, ia berpotensi mendapatkan tuntutan yang lebih ringan dan hukuman yang tidak terlalu berat dalam kasus pencuciannya uang tersebut,” katanya.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa Kejaksaan Agung memiliki hak untuk merampas kekayaan para tersangka tindak pencucian uang.
“Perkara pidana itu, (
Kejagung
)” memiliki kekuatan penuh untuk mengambil aset yang dicurigai berasal dari tindakan suap. Oleh karena itu, hal ini memang masuk akal,” ujarnya.
Menurut Fickar, hal utama yang perlu dipertimbangkan adalah adanya barang bukti berupa uang dan emas yang ditemukan. Karena, sangat mustahil bagi Zarof Ricar untuk memperolehnya setelah dia telah pensiun.
“Pasti sejak Zaroff Ricar menjabat sebagai pegawai tinggi di Mahkamah Agung (MA), oleh karenanya tuduhan korupsi juga menjadi relevan,” kata Fickar.
Pakar hukum Erwin Natosmal Oemar menyokong penerapan undang-undang anti pencucian uang kepada Zarof Ricar untuk mengungkap jaringan kejahatan di sistem peradilan.
“Pendekatan dalam pelaksanaan hukum perlu dirubuhkan dari fokus pada tindakan penahanan (penjara) menjadi penyitaan aset melalui Undang-Undang TPPU, khususnya untuk mengambil keuntungan ilegal yang dimiliki oleh pejabat dan sulit dibuktikannya,” jelasnya.
Erwin menyatakan bahwa Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dana Publik dapat membuka jalan untuk mengatasi pembatasan yang ada pada Undang-Undang Tentang TindakPidana Korupsi.
“Meskipun begitu, penerapan TPPU perlu dilakukan secara seimbang, yaitu dengan memperhatikan hak-hak terduga yang lain,” katanya.
(fat/jpnn)